Sabtu, 06 Agustus 2016

Fethullah Tulen, Gus Dur-nya Turki (Oleh Syaikhul Islam)

Fethullah Tulen, Gus Dur-nya Turki
Oleh Syaikhul Islam

Sejak mangkatnya Gus Dur beberapa waktu lalu, saya terus dihantui keresahan akan masa depan dan bahkan kerisauan atas jati diri saya sendiri. Saya tidak berpikir untuk meributkan gelar pahlawan untuk beliau, tidak pula terbersit untuk mendebatkan benar tidaknya kewalian beliau. Alih-alih untuk meratapi kepergian beliau, untuk berziarah ke makamnya yang sudah dikunjungi puluhan ribu orang itu pun saya belum tergerak. Semua itu karena saya lebih kehilangan sosok Gus Dur sebagai seorang intelektual dan pemimpin bukan sebagai ratu adil atau satrio piningit apalagi wali. Seperti kata orang bijak: “tidak ada orang sempurna dalam segala hal, tidak ada orang hebat dalam segala bidang” banyak sisi dari Gus Dur yang sampai saat ini belum atau tidak bisa saya terima.

Sosok Gus Dur memang unik. Gabungan antara pemikir yang idealis dan pemimpin yang populis. Seseorang yang mencetuskan gagasan visioner sekaligus menyulap implikasi gagasan tersebut hadir ke alam nyata. Seorang berjiwa pengayom khas korps Kiai tetapi bisa juga lihai dan piawai melebihi politikus sejati. Beberapa orang beranggapan sosok seperti Gus Dur belum tentu ada satu dalam seratus tahun, dan tampaknya diam-diam saya mengamini anggapan ini. Seketika itu minat saya untuk membaca tulisan-tulisan Gus Dur menjadi sangat besar. Dan betapa kecewanya saya karena tulisan-tulisan beliau yang saya jumpai, belum mampu mengobati kehausan saya kepada sosok seperti beliau.

Rasa kecewa membuat saya terus berpikir untuk menemukan sosok lain yang seperti Gus Dur di dunia ini, seraya berharap dapat membaca karya-karyanya dan belajar banyak darinya. Tiba-tiba saya teringat dengan pengalaman tiga tahun lalu. Saat itu akhir Januari 2007 di Cairo International Book Fair saya berkenalan dengan seorang penjual buku bernama Mehmet Tuzun asal Izmir-Turki. Dengan bahasa Inggris terbata-bata ia mempersilahkan saya melihat koleksi buku-buku di outletnya. Dia menyebut banyak sekali nama penulis-penulis Turki, meski hanya sedikit nama yang pernah saya dengar. Dengan bersemangat dia mulai menunjukkan jilid demi jilid Risalet al-Nur karya teosof Turki abad 20, Badiuzzaman Sai’d Nursi dan beberapa buku tentang puisi-puisi mistikus Yunus Emre tapi saya masih bergeming untuk membeli. Saat saya sedang asyik melihat buku-buku Nursi versi terjemah Indonesia, dia membawa dua buku bahasa Inggris satu berjudul The Messenger of God MUHAMMAD satu lagi berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. Dia memberikan dua buku itu kepada saya, tapi ketika saya hendak membuka daftar isi—sebagaimana kebiasaan saya saat membeli buku— dia menghentikan saya dan menunjukkan nama pengarang di sampul depan: M. Fethullah Gulen. Sambil berbisik penjual buku itu bertutur: “he is nobleman, he is waliyallah”. Saya tertegun, terkesima dengan tingkah penjual buku ini. Pikiran saya seketika itu kembali pada kaum Nahdliyin dengan Gus Dur-nya, Dalam benak saya bertanya-tanya: masa di Turki ada sosok intelektual yang dianggap wali seperti Gus Dur? Entah sihir apa yang menggugah saya hingga pada akhirnya membeli dua buku tersebut, meski harga satu buku mencapai 90 pound Mesir (kira-kira 180 ribu rupiah) harga yang cukup mahal untuk ukuran book fair apalagi untuk mahasiswa ber-budget pas-pasan seperti saya.

Hampir tiga tahun dua buku karya Fethullah Gulen tersebut tergolek tak terjamah dalam rak buku saya di Kairo, dan tiga bulan lebih berkalang debu di dalam kardus sejak dikirim ke Indonesia. Sampai pada awal Januari lalu beberapa hari setelah mangkatnya Gus Dur saya memungutnya dan mulai membolak-balik satu persatu halamannya. Sejak awal keinginan saya membaca Gulen karena berharap ingin ‘menemukan’ Gus Dur kembali. Rupanya saya sedang beruntung, karena menurut pembacaan saya tipikal pemikiran dua tokoh besar ini ada banyak kemiripan. Terutama menyangkut isu-isu kontemporer seperti: pluralisme, humanisme, toleransi, demokrasi, dialog antar agama hingga terorisme.

Membandingkan Gus Dur dan Gulen

Fethullah Gulen pemikir Turki kontemporer yang karismatik lahir di Erzurum pada 1941 atau setahun lebih muda dari Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang pada 1940. Ayahnya Ramiz Gulen adalah seorang pemuka agama yang disegani. Gulen tumbuh dalam lingkungan agamis nan taat di bawah pengaruh madzhab fikih Hanafi dan diasuh oleh guru-guru sufi dari tarekat Naqsyabandiah. Seperti Gus Dur yang sejak kelahiran hingga pertumbuhannya tak lepas dari dunia pesantren mulai dari Denanyar, Tebuireng, Tegal Rejo dan Tambak Beras yang semuanya kental dengan tata nilai yang mensinergikan fikih dan keluhuran etika sufi. Gulen sama halnya Gus Dur tidak memiliki gelar akademis formal, akan tetapi memiliki standar tinggi dalam pemahaman Islam, filsafat Barat dan sains modern melalui pendidikan informal maupun otodidak. Namun, berbeda dengan Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad, Gulen tidak pernah meninggalkan Turki untuk mengais butir-butir pengetahuan.

Pakar kajian budaya Islam dan masyarakat sipil Asia Tenggara yang juga penulis biografi Gus Dur Greg Barton menegaskan posisi istimewa Gulen dibandingkan dengan pemikir Muslim kontemporer yang lain. Barton melihat keberhasilan Gulen mentransformasi pemikirannya dalam wujud gerakan sosial yang berpengaruh pada seluruh strata masyarakat Turki modern sebagai prestasi khusus. Menurut Barton kebanyakan pemikir Muslim reformis yang sezaman dengan Gulen belum mampu membangun gerakan sosial yang nyata, kendati pemikiran mereka baik dalam bentuk tulisan maupun ceramah dapat mempengaruhi dan merubah ribuan pemikir Muslim yang lain (Barton, 2005). Senada dengan Barton Ali Bulac mendefinisikan sosok Gulen sebagai kombinasi sempurna antara sosok pemimpin penyeimbang (harmonizing leader) dan sarjana intelektual (intellectual-scholar) yang mendedikasikan dirinya untuk reformasi sosial dan perbaikan mental (Bulac, 2005). Gulen memilih dakwah jalan tengah sebagai garis perjuangan hidupnya. Integritasnya menyampaikan ide-ide perubahan dari masjid, kedai kopi, kampus dan ruang publik lainnya mendapat respon positif khalayak. Inspirasi Gulen tentang cinta, perdamaian, toleransi dan reformasi pendidikan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat dari latar belakang yang beragam. Gulen tidak hanya mampu bersikap netral di tengah gesekan antara Islam kanan versus Islam kiri, Sunni dan Alawi bahkan perseteruan etnis Turki dan Kurdi tapi juga berusaha menjaga masyrakat untuk menjauhi konflik-konflik tersebut (Cetin, 2006).

Gerakan sosial pertama kali dirintis Gulen pada 1963 awalnya berupa kelompok kecil di kota Izmir Turki selatan. Pada pertengahan 1980 gerakan ini baru berkembang dengan cepat dengan membangun institusi pendidikan yang tersebar di seluruh Turki. Sejak awal 1990 gerakan Gulen ini berubah menjadi gerakan transnasional dan telah menarik pengikut dari berbagai suku bangsa. Sekolah Hizmet mulai didirikan di negara-negara Asia Tengah, Eropa dan Australia terutama oleh keturunan Turki di negara-negara tersebut (Celik-Alan; T. Kuru, 2005; Yavuz, 2005). Pada era yang sama Gus Dur adalah ikon intelektual Indonesia. Sosok aktivis HAM, pembela demokrasi dan pejuang kebebasan berpendapat. Seorang pemikir yang berani sekaligus piawai bertarik ulur dengan pemerintahan yang otoriter. Maka bukan sesuatu yang mengagetkan jika pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo KH Asa’d Syamsul Arifin selaku pemegang otoritas di NU saat itu (ahlul halli wal aqdi) memilih Gus Dur sebagai nahkoda perubahan NU setelah memutuskan kembali ke khittah 1926. Kepemimpinan Gus Dur di PBNU ditandai dengan keterbukaan dan ruang bebas bagi kader NU muda untuk mengekspresikan pendapat mereka. Dengan semangat tersebut Gus Dur bersama dengan NU muda-nya mencoba merumuskan jati diri NU, hingga muncullah slogan-slogan yang tak akan dilupakan generasi NU sampai kapanpun yaitu: persaudaraan sesama Nahdliyin (ukhuwah nahdliyah), persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Pada awal 90-an ide perubahan yang dibangun Gus Dur mulai menampakkan hasil. Gagasan beliau untuk mendorong para sarjana dan peneliti asing untuk menulis tentang NU secara perlahan membawa NU berubah dari organisasi kolot menjadi organisasi yang dikenal di Dunia Internasional (Ghazali, 2003; Assyaukanie, 2010).

Gulen dan Gus Dur sama-sama memandang pentingnya toleransi dan humanisme sebagai landasan utama kehidupan berbangsa, terutama dalam konteks Indonesia dan Turki yang plural dan majemuk. Menjadi penting untuk menengok kembali, mengapa Gus Dur dan koleganya KH Ahmad Siddiq sejak awal kepemimpinannya bersikeras mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dengn menolak penerapan syariat Islam? Mengapa Gus Dur merespon dengan antusias setiap undangan seremonial agama lain? Mengapa Gus Dur membela dan menganak emaskan kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa dan keluarga tahanan politik? Setali tiga uang dengan Gus Dur, Gulen memastikan toleransi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih masa depan sebuah bangsa. Toleransi bagi Gulen ibarat sebuah benteng yang sangat kuat untuk menjaga keutuhan sebuah bangsa dari ancaman perbedaan yang berpotensi mendatangkan perpecahan. Gulen menulis:“Thus, while walking toward the future as a whole nation, tolerance is our safest refuge and our fortress against the handicaps that arise from schism, factions, and the difficulties inherent in reaching mutual agreement; troubles that lie waiting at every corner”(Gulen, 2004).

Gulen juga memberi catatan penting bahwa toleransi dan penghargaan kepada orang lain adalah hal yang sama sekali berbeda dengan masalah hubungan seseorang dengan Tuhannya. Menghargai nilai manusia bagi seorang yang percaya kepada Tuhan merupakan sebuah takdir yang tidak akan mampu diingkari. Gulen berujar: “Accepting all people as they are, regardless of who they are, does not mean putting believers and unbelievers on the same side of the scales. According to our way of thinking, the position of believers and unbelievers has its own specific value. The Pride of Humanity has a special position and his place in our hearts is separate from and above all others” (Gulen, 2004). Sebuah catatan yang mungkin dapat memberi sedikit pencerahan mengenai sikap Gus dur yang lebih memilih diam merespon hujatan, cacian dan tuduhan murtad kepada beliau saat menghadiri undangan dari para pemuka agama lain, berdoa di gereja, klenteng dan lain-lain.

Dalam ranah politik, perjuangan Gus Dur dan Gulen juga memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama berangkat dari tradisi politik kultural. Gus Dur selalu mendambakan gerbong besar Nahdliyin nya menjadi elemen civil society. Dalam pandangan Gus Dur NU ormas keagamaan yang lain merupakan unsur paling penting dari kekuatan sipil yang bepotensi menjadi mandiri dan mampu berhadapan dengan negara (Sa’id Ali, 2008). Cita-cita politik Gus dur ini terlihat sangat kuat pada awal 90-an ketika NU memilih mendukung demokrasi dan berhadapan langsung dengan pemerintahan otoriter orde baru.

Sayangnya cita-tersebut sedikit luntur dengan didirikannya PKB sebagai ‘partai resmi’ warga NU pasca reformasi, bahkan menjadi kabur tatkala Gus Dur diangkat sebagai Presiden RI ke-4 (Sa’id Ali, 2008).

Meneruskan tradisi pendahulunya Sa’id Nursi Gulen agaknya lebih konsisten dalam membangun masyarakat menjadi lebih modern dan menjauhi politik praktis. Bagi Gulen membangun pemahaman agama yang inklusif dan humanis di tengah masyarakat jauh lebih penting dan efektif dibandingkan membiarkan masyarakat jatuh dalam kubangan politisasi agama (Yavuz, 2005). Konsentrasi Gulen seperti diidentifikasi Barton lebih besar dicurahkan pada perbaikan kualitas pendidikan, etika perbankan dan perusahaan media. Selain itu Gulen tetap tekun memobilisasi integritas personal dan kepedulian sosial dari para pelaku bisnis serta pada saat yang sama menyediakan jaringan untuk memacu dan mendukung kegiatan mereka (Barton, 2005). Seperti dinyatakan Yafuz, Gulen tidak memiliki agenda politik tertentu terutama berkaitan dengan gerakan sosial yang dipimpinnya, tetapi kharisma Gulen merupakan daya tarik politik yang tidak bisa diabaikan dalam kancah pepolitikan Turki. Gulen tidak pernah dengan tegas menyatakan sikap politiknya, namun bukan lagi rahasia jika ia tidak bersimpati dengan politisasi Islam ala Milli Gorus yang digawangi Necmetin Erbakan berikut partai-partai politik berada dibawahnya. Gulen justru terlihat lebih intim dengan pemimpin-pemimpin sekuler seperti mantan presiden dan perdana menteri Turgut Ozal dan perdana menteri wanita pertama Turki Tansu Ciller (Yafuz, 2005).

Seperti Gus dur yang mendukung penuh pemerintah menjaga Pancasila sebagai dasar negara, Gulen seringkali menjadi bumper pemerintah dan kekuatan militer Turki terutama ketika berhadapan dengan kelompok Islam Kanan. Namun penting untuk dicatat, kedua tokoh ini memberikan dukungan tersebut tidak gratis, Gus Dur dan Gulen sama-sama meminta demokrasi sebagai harga yang tidak bisa ditawar.(Sa’id Ali, 2008; Yafuz, 2005) Gulen selalu lantang menyuarakan demokratisasi baik kepada pemerintah maupun pada partai-partai Islam sebagaimana pernyataannya berikut: “Democracy and Islam are compatible. Ninety-Wve percent of Islamic rules deal with private life and the family. Only 5 percent deal with matters of the state and this could be arranged only within the context of democracy. If some people are thinking something else, such as an Islamic state, this country’s history and social conditions do not allow it.... Democratization is an irreversible process in Turkey”.(Yafuz, 2005).

Walhasil, di era modernitas dan globalisasi seperti sekarang sosok seperti Abdurrahman Wahid dan Fethullah Gulen merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa dihindari. Sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam bahasa yang dikenal dan mudah diterima masyararakat kontemporer, sekaligus mampu mengejawantahkannya dalam aktivitas nyata yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Apa yang dikatakan Eickelman bahwa dalam era global setiap agama harus bisa menata ulang hubungannya dengan masyarakat, sebab tradisi keagamaan telah menjadi konsumsi massal, tampaknya sudah dimainkan dengan apik oleh Gus Dur dan Gulen. Bagaimana dengan kita?

http://www.nu.or.id/post/read/69802/fetullah-gulen-gus-dur-nya-turki

K.H. Ahmad Dahlan TOKOH PENDIRI MUHAMMADYAH ( Oleh : Teddy Calterio )

K.H. Ahmad Dahlan
TOKOH PENDIRI MUHAMMADYAH
Oleh : Teddy Calterio

K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta,
tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).

Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran- pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.

K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu dari
belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca buku atau kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak iparnya, ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, ilmu falaq dari K.H. Raden Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, ilmu hadits dari Kyai
Mahfudz, qiroatul qur’an dari Syekh Amin. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi dengan
para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya. KH Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang
dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max
Weber. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai insiden sosiologis sunnatullah atau hukum alam.

Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini
diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut Ahmad Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.

Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan cabang- cabang Muhammadiyah diseluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Atas jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa lewat pembaharuan Islam dan
pendidikan, Pemerintah menetapkan sebagai Pahlawan Nasional dgn SK Presiden no. 657 tahun 1961 berdasar bahwa KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar. Dengan organisasi Muhammadiyah, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan dan beramal bagi umat dan masyarakat dengan dasar iman dan Islam; Usahanya `memberi warna,pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang
tamu rumahnya sendiri di Kauman. Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri.