PENERAPAN TEKNIK PROPAGANDA HITLER
Kebohongan yang diulang berkali-kali lama-lama akan menjadi kebenaran. Itu ditulis oleh Hitler. Selain itu Hitler sangat gemar menggunakan taktik pengumpulan massa besar-besaran untuk "menghipnotis" dan memukau mereka, yang lalu tunduk di bawah pengaruh perintahnya.
Hitler sangat menyadari psikologi massa. Orang-orang yang secara individual merasa kecil, lemah, tidak percaya diri, tidak berdaya, ketika dikumpulkan secara massal di bawah satu komando mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar, yang megah, yang hebat, yang agung, yang mulia. Dalam kondisi mental massa yang seperti itulah, dengan retorika pidatonya yang berapi-api, Hitler berhasil mencekoki mereka dengan impian ras Arya yang paling mulia. Yang di luar ras Arya dianggap ras yang lebih rendah.
Mereka lalu digiring ke dalam kancah Perang Dunia II yang berakhir dengan kehancuran Jerman.
#silahkan tafsirkan dan analisiskan sendiri
Sejarah
Rabu, 30 November 2016
Jumat, 11 November 2016
Sejarah Perang 10 November 1945 (Oleh : Ronny Leung)
( The Battle Of Surabaya)
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa bersejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Pertempuran Surabaya melawan pasukan sekutu memang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perbutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai sejak tanggal 2 September 1945. Kejadian tersebut telah membangkitkan pergolakan sehingga me-nimbulkan situasi revolusi yang konfrontatif. Para pemuda berhasil memiliki senjata, dan pemerintah memberikan dukungan terhadap tindakan yang mereka lakukan. Bahkan keduanya siap menghadapi berbagai ancaman yang datang baik dari luar maupun dari dalam.
Peristiwa - peristiwa sebelum kedatangan sekutu di Surabaya :
17 Agustus 1945
Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa situasi revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari penguasaan Jepang.
31 Agustus 1945
Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard.
17 September 1945
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.
19 September 1945
Terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.
23-24 September 1945
Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.
25 September 1945
Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin KH Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.Diputuskan pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh. Muhajir), Surabaya Barat (Damiri Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya Timur (Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat).
5 Oktober 1945
Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai anggota TKR melalui kantor-kantor BKR setempat.
15-20 Oktober 1945
Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah dengan para pejuang.
21-22 Oktober 1945
PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Kedatangan Pasukan Sekutu di Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya. Pasukan itu merupakan bagian dari Divisi ke-23 di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Pemimpin pasukan Sekutu menemui R.M. Suryo (pemegang pemerintahan Indonesia di Jawa Timur). Namun pemerintah Indonesia di Jawa Timur merasa enggan menerima kedatangan mereka. Setelah diadakan pertemuan antara wakil pemerintah Republik Indonesia dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, disepakati hal-hal berikut ini.
Inggris berjanji bahwa pada tentara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda. .
Mereka menyetujui kerja sama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman
Mereka segera membentuk kontak biro agar kerja sama dapat terlaksana sebaik-baiknya
Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.
Oleh karena itu, pihak Republik Indonesia memperkenankan tentara Inggris memasuki kota dengan syarat hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya yang boleh diduduki, seperti kamp-kamp tawanan. Namun dalam perkembangan berikutnya, pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam hari satu pleton field security section di bawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyerangan ke Penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer (seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda) bersama kawan-kawannya.
Tindakan Inggris dilanjutkan dengan menduduki Pangkalan Udara Morokrembangan, Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Bank Intemasional, dan objek vital lainnya. Pada tanggal 27 Oktober 1945, pukul 11.00 pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-pamflet. Pamflet-pamflet itu berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampasnya dari tangan Jepang. Pemerintah Republik Indonesia berusaha menanyakan hal itu kepada Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, tetapi ia mengakui mengetahui tentang pamflet tersebut.
26 Oktober 1945
Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan Sekutu. Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak Surabaya diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Walikota Surabaya) dan Muhammad.
27 Oktober 1945
Mayjen DC.Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris. Jika ada yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya.
Sikap itu menghilangkan kepercayaan pemerintah Republik Indonesia kepadanya. Pemerintah meminta kepada para pemuda untuk tetap siaga menghadapi segala kemungkinan. Pada tanggal 27 Oktober 1945 terjadi kontak senjata yang pertama antara para pemuda dengan pihak Inggris. Kontak senjata itu meluas, sehingga terjadi pertempuran antara Indonesia dengan Inggris tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran itu pasukan Sekutu dapat dipukul mundur dan bahkan hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia.
Beberapa objek vital berhasil direbut kembali oleh para pemuda. Bahkan pemimpin pasukan Sekutu Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby berhasil ditawan oleh para pemuda. Melihat kenyataan seperti itu, komandan pasukan sekutu hubungi Presiden Soekarno untuk mendamaikan perselisihan antara pemuda dengan asukan Inggris di sana. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai, tetapi setelah sekembalinya Soekarno dan rombongan ke Jakarta, pertempuran kembali terjadi dan menewaskan Jenderal A.W.S. Mallaby. Pasukan Inggris nyaris hancur, kemudian mereka meminta bantuna dari Divisi V di bawah pimpinan Mayor Jendral Mansergh dengan kekuatan 25.000 pasukan elit yang berhasil mengalahkan pasukan Hitler di Eropa.
28 Oktober 1945
Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu runcing, dan clurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris kewalahan menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.
29 Oktober 1945
Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan Laskar Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta Api SS, dan Kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) menggempur pasukan Inggris yang ada di Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.
29 Oktober 1945
Perwira Inggris Kolonel Cruickshank menyatakan pihaknya telah terkepung. Mayjen Hawtorn dari Brigade ke-49 menelpon dan meminta Presiden Soekarno agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pertempuran. Hari itu juga, dengan sebuah perjanjian, Presiden Soekarno didampingi Wapres Mohammad Hatta terbang ke Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi perang.
30 Oktober 1945
Genjatan senjata dicapai kedua pihak, Laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Sekutu-Inggris. Disepakati diadakan pertukaran tawanan, pasukan Inggris mundur ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Darmo (kamp Interniran), dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.
30 Oktober 1945
Sore hari usai kesepakatan genjatan senjata, rombongan Biro Kontak Inggris menuju ke Gedung Internatio yang terletak disaping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan genjatan senjata. Hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjen Mallaby tertembak dan mobilnya terbakar.
31 Oktober 1945
Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri maka pihaknya akan mengerahkan seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.
7-8 November 1945
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.
Pada tanggal 9 November 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang-orang Indonesia Surabaya tidak menaati perintah Inggris. Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan. Mereka diharuskan datang dengan tangan di atas kepala, dan kemudian menandatangani dokumen yang tersedia sebagai tanda menyerah tanpa syarat.
9 November 1945
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.
Terjadinya Peristiwa 10 November
Hampir 300.000 santri, pejuang pejuang dari seluruh Nusantara mulai dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Bali bergabung dengan TKR sebanyak 25.000 pasukan dengan perlengkapan seadanya menyambut seruan Jihad Hadratussyaikh Hasyim Asyari mempertahankan Surabaya dari gempuran pasukan divisi ke V sekutu 25.000 pasukan elit yang lengkap dengan puluhan pesawat, puluhan tank, meriam dan kapal perang. Para pemuda yang memegang senjata diperintahkan untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Indonesia. Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat. Rakyat Indonesia bertekad untuk bertempur mati-matian.
Karena ultimatum tersebut tidak digubris oleh para pejuang dan rakyat surabaya maka pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran yang sangat dahsyat, mereka mengerahkan sekitar 3 Divisi pasukan Infanteri beserta tank dan senjata berat lainya, 50 pesawat tempur, dan sejumlah kapal perang yang berada disekitar perairan surabaya.
Hampir seluruh bagian kota Surabaya dibombardir dari laut,udara dan darat secara membabi-buta oleh moncong moncong meriam pasukan sekutu. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan luka-luka. Perlawanan tidak berhenti, Kobaran api semangat di seluruh kota menyala nyala bak letusan gunung berapi, TKR dan Laskar serta bantuan yang aktif dari rakyat Indonesia membuat kota Surabaya terbakar bak neraka.
Inggris terkejut mereka mendapatkan badai api di Kota Surabaya, awalnya mereka menduga perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, Nyatanya pengerahkan persenjataan modern dan taktik perang yang mumpuni tidak membuat kota surabaya mudah untuk diduduki.
Pertempuran semakin sengit dengan hadirnya para ulama, kyai dan para santri di medan peperangan.Nama nama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya ikut ambil bagian dalam perjuangan dengan mengerahkan santri-santri (ketika itu masyarakat Jawa khususnya tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka sangat patuh dan taat kepada para kyai dan ulama mereka). Tidak ketinggalan juga seorang orator ulung dan pejuang muda kota surabaya “Bung Tomo” bersama para tokoh lainnya terus memompa dan mebakar semangat arek arek surabaya agar terus berjuang hingga titik darah penghabisan.
Tidak terduga sama sekali perlawanan bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, minggu ke minggu. Perlawanan yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, semakin hari semakin solid dan teratur. Pertempuran dasyat ini memakan waktu hampir satu bulan lamanya, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris. Peristiwa berdarah ini benar benar membuat sekutu merasa berperang dipasifik, medan perang Surabaya mendapat julukan “neraka” ,perang terhebat sekutu setelah perang dunia ke dua menaklukan Hitler.Bagi mereka karena kerugian yg disebabkan tidaklah sedikit, sekitar 3.000 orang prajurit pengalaman mereka tewas di surabaya serta puluhan alat perang rusak dan hancur diterjang badai semangat arek arek Surabaya.Diperkirakan korban jiwa di pihak Indonesia 30.000 nyawa melayang mempertahankan Surabaya selama hampir sebulan.
Kejadian luar biasa heroik yg terjadi di kota Surabaya telah menggetarkan Bangsa Indonesia , semangat juang, pantang menyerah dan bertarung sampai titik darah penghabisan demi tegaknya kedaulatan dan kehormatan bangsa telah mereka tunjukan dengan penuh kegigihan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itu serta semangat membara yang membuat Inggris serasa terpanggang di neraka telah membuat kota Surabaya kemudian dikenang sebagai Kota Pahlawan dan tanggal 10 nopember diperingati setiap tahunnya sebagai hari Pahlawan.
Kejadian itu merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa 10 November itu diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia. Merdeka!!!
Kamis, 27 Oktober 2016
Sejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 (Oleh : Ronny Leung)
Sumpah Pemuda
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak gerakan persatuan pemuda dari seluruh negeri Indonesia yang majemuk. Merupakan kesadaran bersama bahwa tanpa semangat persatuan dan kesatuan dari semua elemen bangsa maka bangsa ini tidak akan lepas dari penjajahan Belanda.
Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Adapun panitia Kongres Pemuda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :
• Abdul Muthalib Sangadji
• Purnama Wulan
• Abdul Rachman
• Raden Soeharto
• Abu Hanifah
• Raden Soekamso
• Adnan Kapau Gani
• Ramelan
• Amir (Dienaren van Indie)
• Saerun (Keng Po)
• Anta Permana
• Sahardjo
• Anwari
• Sarbini
• Arnold Manonutu
• Sarmidi Mangunsarkoro
• Assaat
• Sartono
• Bahder Djohan
• S.M. Kartosoewirjo
• Dali
• Setiawan
• Darsa
• Sigit (Indonesische Studieclub)
• Dien Pantouw
• Siti Sundari
• Djuanda
• Sjahpuddin Latif
• Dr.Pijper
• Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
• Emma Puradiredja
• Soejono Djoenoed Poeponegoro
• Halim
• R.M. Djoko Marsaid
• Hamami
• Soekamto
• Jo Tumbuhan
• Soekmono
• Joesoepadi
• Soekowati (Volksraad)
• Jos Masdani
• Soemanang
• Kadir
• Soemarto
• Karto Menggolo
• Soenario (PAPI & INPO)
• Kasman Singodimedjo
• Soerjadi
• Koentjoro Poerbopranoto
• Soewadji Prawirohardjo
• Martakusuma
• Soewirjo
• Masmoen Rasid
• Soeworo
• Mohammad Ali Hanafiah
• Suhara
• Mohammad Nazif
• Sujono (Volksraad)
• Mohammad Roem
• Sulaeman
• Mohammad Tabrani
• Suwarni
• Mohammad Tamzil
• Tjahija
• Muhidin (Pasundan)
• Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
• Mukarno
• Wilopo
• Muwardi
• Wage Rudolf Soepratman
• Nona Tumbel
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin
Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :
PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.
Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam (Oleh:Amirudin Faisal)
Bung Karno, Bung Hatta, Muh Yamin, Iwa Kusumasumantri dan banyak pendiri bangsa yang telah memilih Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia.
Mereka sudah melihat jauh ke depan, bahwa utuhnya sebuah bangsa karena adanya rasa bersatu, walaupun berbeda atas pengalaman sejarah hidup manusia baik suku, keyakinan ataupun tingkat sosial, tapi punya perasaan bersatu yang disatukan oleh prinsip hidup kita dalam sebuah bangsa : Pancasila...
Benar kata Bung Karno "Pancasila, lebih besar daripada Manifesto Komunisnya Marx, lebih besar dari Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson, ia adalah mercusuar dunia, kalau ini dipegang dan jadi pandangan yang jujur, maka dunia akan menemukan perdamaiannya yang abadi dalam rasa kemanusiaan...
Kata Bung Karno di depan para pemimpin politik dalam sebuah pertemuan Front Nasional, 1962.
Mereka sudah melihat jauh ke depan, bahwa utuhnya sebuah bangsa karena adanya rasa bersatu, walaupun berbeda atas pengalaman sejarah hidup manusia baik suku, keyakinan ataupun tingkat sosial, tapi punya perasaan bersatu yang disatukan oleh prinsip hidup kita dalam sebuah bangsa : Pancasila...
Benar kata Bung Karno "Pancasila, lebih besar daripada Manifesto Komunisnya Marx, lebih besar dari Declaration of Independence-nya Thomas Jefferson, ia adalah mercusuar dunia, kalau ini dipegang dan jadi pandangan yang jujur, maka dunia akan menemukan perdamaiannya yang abadi dalam rasa kemanusiaan...
Kata Bung Karno di depan para pemimpin politik dalam sebuah pertemuan Front Nasional, 1962.
Jumat, 23 September 2016
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyarii (Sebuah Biografi)
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai 5 anak:
1.Halimah (Winih)
2.Muhammad
3.Leler
4.Fadli
5.Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 11 anak:
1.Nafi’ah
2.Ahmad Saleh
3.Muhammad Hasyim
4.Radiyah
5.Hasan
6.Anis
7.Fatonah
8.Maimunah
9.Maksun
10.Nahrowi, dan
11.Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
Abdul Qodir
Fatimah
Chotijah
Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Biografi KH Hasyim Al Asy’ari
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai 5 anak:
1.Halimah (Winih)
2.Muhammad
3.Leler
4.Fadli
5.Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 11 anak:
1.Nafi’ah
2.Ahmad Saleh
3.Muhammad Hasyim
4.Radiyah
5.Hasan
6.Anis
7.Fatonah
8.Maimunah
9.Maksun
10.Nahrowi, dan
11.Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..
Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
Harta benda yang berlimpah-limpah
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
Hannah
Khoiriyah
Aisyah
Azzah
Abdul Wahid
Abdul hakim (Abdul Kholiq)
Abdul Karim
Ubaidillah
Mashurroh
Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
Abdul Qodir
Fatimah
Chotijah
Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI
Wafatnya Sang Tokoh
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
Sabtu, 06 Agustus 2016
Fethullah Tulen, Gus Dur-nya Turki (Oleh Syaikhul Islam)
Fethullah Tulen, Gus Dur-nya Turki
Oleh Syaikhul Islam
Sejak mangkatnya Gus Dur beberapa waktu lalu, saya terus dihantui keresahan akan masa depan dan bahkan kerisauan atas jati diri saya sendiri. Saya tidak berpikir untuk meributkan gelar pahlawan untuk beliau, tidak pula terbersit untuk mendebatkan benar tidaknya kewalian beliau. Alih-alih untuk meratapi kepergian beliau, untuk berziarah ke makamnya yang sudah dikunjungi puluhan ribu orang itu pun saya belum tergerak. Semua itu karena saya lebih kehilangan sosok Gus Dur sebagai seorang intelektual dan pemimpin bukan sebagai ratu adil atau satrio piningit apalagi wali. Seperti kata orang bijak: “tidak ada orang sempurna dalam segala hal, tidak ada orang hebat dalam segala bidang” banyak sisi dari Gus Dur yang sampai saat ini belum atau tidak bisa saya terima.
Sosok Gus Dur memang unik. Gabungan antara pemikir yang idealis dan pemimpin yang populis. Seseorang yang mencetuskan gagasan visioner sekaligus menyulap implikasi gagasan tersebut hadir ke alam nyata. Seorang berjiwa pengayom khas korps Kiai tetapi bisa juga lihai dan piawai melebihi politikus sejati. Beberapa orang beranggapan sosok seperti Gus Dur belum tentu ada satu dalam seratus tahun, dan tampaknya diam-diam saya mengamini anggapan ini. Seketika itu minat saya untuk membaca tulisan-tulisan Gus Dur menjadi sangat besar. Dan betapa kecewanya saya karena tulisan-tulisan beliau yang saya jumpai, belum mampu mengobati kehausan saya kepada sosok seperti beliau.
Rasa kecewa membuat saya terus berpikir untuk menemukan sosok lain yang seperti Gus Dur di dunia ini, seraya berharap dapat membaca karya-karyanya dan belajar banyak darinya. Tiba-tiba saya teringat dengan pengalaman tiga tahun lalu. Saat itu akhir Januari 2007 di Cairo International Book Fair saya berkenalan dengan seorang penjual buku bernama Mehmet Tuzun asal Izmir-Turki. Dengan bahasa Inggris terbata-bata ia mempersilahkan saya melihat koleksi buku-buku di outletnya. Dia menyebut banyak sekali nama penulis-penulis Turki, meski hanya sedikit nama yang pernah saya dengar. Dengan bersemangat dia mulai menunjukkan jilid demi jilid Risalet al-Nur karya teosof Turki abad 20, Badiuzzaman Sai’d Nursi dan beberapa buku tentang puisi-puisi mistikus Yunus Emre tapi saya masih bergeming untuk membeli. Saat saya sedang asyik melihat buku-buku Nursi versi terjemah Indonesia, dia membawa dua buku bahasa Inggris satu berjudul The Messenger of God MUHAMMAD satu lagi berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. Dia memberikan dua buku itu kepada saya, tapi ketika saya hendak membuka daftar isi—sebagaimana kebiasaan saya saat membeli buku— dia menghentikan saya dan menunjukkan nama pengarang di sampul depan: M. Fethullah Gulen. Sambil berbisik penjual buku itu bertutur: “he is nobleman, he is waliyallah”. Saya tertegun, terkesima dengan tingkah penjual buku ini. Pikiran saya seketika itu kembali pada kaum Nahdliyin dengan Gus Dur-nya, Dalam benak saya bertanya-tanya: masa di Turki ada sosok intelektual yang dianggap wali seperti Gus Dur? Entah sihir apa yang menggugah saya hingga pada akhirnya membeli dua buku tersebut, meski harga satu buku mencapai 90 pound Mesir (kira-kira 180 ribu rupiah) harga yang cukup mahal untuk ukuran book fair apalagi untuk mahasiswa ber-budget pas-pasan seperti saya.
Hampir tiga tahun dua buku karya Fethullah Gulen tersebut tergolek tak terjamah dalam rak buku saya di Kairo, dan tiga bulan lebih berkalang debu di dalam kardus sejak dikirim ke Indonesia. Sampai pada awal Januari lalu beberapa hari setelah mangkatnya Gus Dur saya memungutnya dan mulai membolak-balik satu persatu halamannya. Sejak awal keinginan saya membaca Gulen karena berharap ingin ‘menemukan’ Gus Dur kembali. Rupanya saya sedang beruntung, karena menurut pembacaan saya tipikal pemikiran dua tokoh besar ini ada banyak kemiripan. Terutama menyangkut isu-isu kontemporer seperti: pluralisme, humanisme, toleransi, demokrasi, dialog antar agama hingga terorisme.
Membandingkan Gus Dur dan Gulen
Fethullah Gulen pemikir Turki kontemporer yang karismatik lahir di Erzurum pada 1941 atau setahun lebih muda dari Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang pada 1940. Ayahnya Ramiz Gulen adalah seorang pemuka agama yang disegani. Gulen tumbuh dalam lingkungan agamis nan taat di bawah pengaruh madzhab fikih Hanafi dan diasuh oleh guru-guru sufi dari tarekat Naqsyabandiah. Seperti Gus Dur yang sejak kelahiran hingga pertumbuhannya tak lepas dari dunia pesantren mulai dari Denanyar, Tebuireng, Tegal Rejo dan Tambak Beras yang semuanya kental dengan tata nilai yang mensinergikan fikih dan keluhuran etika sufi. Gulen sama halnya Gus Dur tidak memiliki gelar akademis formal, akan tetapi memiliki standar tinggi dalam pemahaman Islam, filsafat Barat dan sains modern melalui pendidikan informal maupun otodidak. Namun, berbeda dengan Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad, Gulen tidak pernah meninggalkan Turki untuk mengais butir-butir pengetahuan.
Pakar kajian budaya Islam dan masyarakat sipil Asia Tenggara yang juga penulis biografi Gus Dur Greg Barton menegaskan posisi istimewa Gulen dibandingkan dengan pemikir Muslim kontemporer yang lain. Barton melihat keberhasilan Gulen mentransformasi pemikirannya dalam wujud gerakan sosial yang berpengaruh pada seluruh strata masyarakat Turki modern sebagai prestasi khusus. Menurut Barton kebanyakan pemikir Muslim reformis yang sezaman dengan Gulen belum mampu membangun gerakan sosial yang nyata, kendati pemikiran mereka baik dalam bentuk tulisan maupun ceramah dapat mempengaruhi dan merubah ribuan pemikir Muslim yang lain (Barton, 2005). Senada dengan Barton Ali Bulac mendefinisikan sosok Gulen sebagai kombinasi sempurna antara sosok pemimpin penyeimbang (harmonizing leader) dan sarjana intelektual (intellectual-scholar) yang mendedikasikan dirinya untuk reformasi sosial dan perbaikan mental (Bulac, 2005). Gulen memilih dakwah jalan tengah sebagai garis perjuangan hidupnya. Integritasnya menyampaikan ide-ide perubahan dari masjid, kedai kopi, kampus dan ruang publik lainnya mendapat respon positif khalayak. Inspirasi Gulen tentang cinta, perdamaian, toleransi dan reformasi pendidikan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat dari latar belakang yang beragam. Gulen tidak hanya mampu bersikap netral di tengah gesekan antara Islam kanan versus Islam kiri, Sunni dan Alawi bahkan perseteruan etnis Turki dan Kurdi tapi juga berusaha menjaga masyrakat untuk menjauhi konflik-konflik tersebut (Cetin, 2006).
Gerakan sosial pertama kali dirintis Gulen pada 1963 awalnya berupa kelompok kecil di kota Izmir Turki selatan. Pada pertengahan 1980 gerakan ini baru berkembang dengan cepat dengan membangun institusi pendidikan yang tersebar di seluruh Turki. Sejak awal 1990 gerakan Gulen ini berubah menjadi gerakan transnasional dan telah menarik pengikut dari berbagai suku bangsa. Sekolah Hizmet mulai didirikan di negara-negara Asia Tengah, Eropa dan Australia terutama oleh keturunan Turki di negara-negara tersebut (Celik-Alan; T. Kuru, 2005; Yavuz, 2005). Pada era yang sama Gus Dur adalah ikon intelektual Indonesia. Sosok aktivis HAM, pembela demokrasi dan pejuang kebebasan berpendapat. Seorang pemikir yang berani sekaligus piawai bertarik ulur dengan pemerintahan yang otoriter. Maka bukan sesuatu yang mengagetkan jika pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo KH Asa’d Syamsul Arifin selaku pemegang otoritas di NU saat itu (ahlul halli wal aqdi) memilih Gus Dur sebagai nahkoda perubahan NU setelah memutuskan kembali ke khittah 1926. Kepemimpinan Gus Dur di PBNU ditandai dengan keterbukaan dan ruang bebas bagi kader NU muda untuk mengekspresikan pendapat mereka. Dengan semangat tersebut Gus Dur bersama dengan NU muda-nya mencoba merumuskan jati diri NU, hingga muncullah slogan-slogan yang tak akan dilupakan generasi NU sampai kapanpun yaitu: persaudaraan sesama Nahdliyin (ukhuwah nahdliyah), persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Pada awal 90-an ide perubahan yang dibangun Gus Dur mulai menampakkan hasil. Gagasan beliau untuk mendorong para sarjana dan peneliti asing untuk menulis tentang NU secara perlahan membawa NU berubah dari organisasi kolot menjadi organisasi yang dikenal di Dunia Internasional (Ghazali, 2003; Assyaukanie, 2010).
Gulen dan Gus Dur sama-sama memandang pentingnya toleransi dan humanisme sebagai landasan utama kehidupan berbangsa, terutama dalam konteks Indonesia dan Turki yang plural dan majemuk. Menjadi penting untuk menengok kembali, mengapa Gus Dur dan koleganya KH Ahmad Siddiq sejak awal kepemimpinannya bersikeras mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dengn menolak penerapan syariat Islam? Mengapa Gus Dur merespon dengan antusias setiap undangan seremonial agama lain? Mengapa Gus Dur membela dan menganak emaskan kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa dan keluarga tahanan politik? Setali tiga uang dengan Gus Dur, Gulen memastikan toleransi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih masa depan sebuah bangsa. Toleransi bagi Gulen ibarat sebuah benteng yang sangat kuat untuk menjaga keutuhan sebuah bangsa dari ancaman perbedaan yang berpotensi mendatangkan perpecahan. Gulen menulis:“Thus, while walking toward the future as a whole nation, tolerance is our safest refuge and our fortress against the handicaps that arise from schism, factions, and the difficulties inherent in reaching mutual agreement; troubles that lie waiting at every corner”(Gulen, 2004).
Gulen juga memberi catatan penting bahwa toleransi dan penghargaan kepada orang lain adalah hal yang sama sekali berbeda dengan masalah hubungan seseorang dengan Tuhannya. Menghargai nilai manusia bagi seorang yang percaya kepada Tuhan merupakan sebuah takdir yang tidak akan mampu diingkari. Gulen berujar: “Accepting all people as they are, regardless of who they are, does not mean putting believers and unbelievers on the same side of the scales. According to our way of thinking, the position of believers and unbelievers has its own specific value. The Pride of Humanity has a special position and his place in our hearts is separate from and above all others” (Gulen, 2004). Sebuah catatan yang mungkin dapat memberi sedikit pencerahan mengenai sikap Gus dur yang lebih memilih diam merespon hujatan, cacian dan tuduhan murtad kepada beliau saat menghadiri undangan dari para pemuka agama lain, berdoa di gereja, klenteng dan lain-lain.
Dalam ranah politik, perjuangan Gus Dur dan Gulen juga memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama berangkat dari tradisi politik kultural. Gus Dur selalu mendambakan gerbong besar Nahdliyin nya menjadi elemen civil society. Dalam pandangan Gus Dur NU ormas keagamaan yang lain merupakan unsur paling penting dari kekuatan sipil yang bepotensi menjadi mandiri dan mampu berhadapan dengan negara (Sa’id Ali, 2008). Cita-cita politik Gus dur ini terlihat sangat kuat pada awal 90-an ketika NU memilih mendukung demokrasi dan berhadapan langsung dengan pemerintahan otoriter orde baru.
Sayangnya cita-tersebut sedikit luntur dengan didirikannya PKB sebagai ‘partai resmi’ warga NU pasca reformasi, bahkan menjadi kabur tatkala Gus Dur diangkat sebagai Presiden RI ke-4 (Sa’id Ali, 2008).
Meneruskan tradisi pendahulunya Sa’id Nursi Gulen agaknya lebih konsisten dalam membangun masyarakat menjadi lebih modern dan menjauhi politik praktis. Bagi Gulen membangun pemahaman agama yang inklusif dan humanis di tengah masyarakat jauh lebih penting dan efektif dibandingkan membiarkan masyarakat jatuh dalam kubangan politisasi agama (Yavuz, 2005). Konsentrasi Gulen seperti diidentifikasi Barton lebih besar dicurahkan pada perbaikan kualitas pendidikan, etika perbankan dan perusahaan media. Selain itu Gulen tetap tekun memobilisasi integritas personal dan kepedulian sosial dari para pelaku bisnis serta pada saat yang sama menyediakan jaringan untuk memacu dan mendukung kegiatan mereka (Barton, 2005). Seperti dinyatakan Yafuz, Gulen tidak memiliki agenda politik tertentu terutama berkaitan dengan gerakan sosial yang dipimpinnya, tetapi kharisma Gulen merupakan daya tarik politik yang tidak bisa diabaikan dalam kancah pepolitikan Turki. Gulen tidak pernah dengan tegas menyatakan sikap politiknya, namun bukan lagi rahasia jika ia tidak bersimpati dengan politisasi Islam ala Milli Gorus yang digawangi Necmetin Erbakan berikut partai-partai politik berada dibawahnya. Gulen justru terlihat lebih intim dengan pemimpin-pemimpin sekuler seperti mantan presiden dan perdana menteri Turgut Ozal dan perdana menteri wanita pertama Turki Tansu Ciller (Yafuz, 2005).
Seperti Gus dur yang mendukung penuh pemerintah menjaga Pancasila sebagai dasar negara, Gulen seringkali menjadi bumper pemerintah dan kekuatan militer Turki terutama ketika berhadapan dengan kelompok Islam Kanan. Namun penting untuk dicatat, kedua tokoh ini memberikan dukungan tersebut tidak gratis, Gus Dur dan Gulen sama-sama meminta demokrasi sebagai harga yang tidak bisa ditawar.(Sa’id Ali, 2008; Yafuz, 2005) Gulen selalu lantang menyuarakan demokratisasi baik kepada pemerintah maupun pada partai-partai Islam sebagaimana pernyataannya berikut: “Democracy and Islam are compatible. Ninety-Wve percent of Islamic rules deal with private life and the family. Only 5 percent deal with matters of the state and this could be arranged only within the context of democracy. If some people are thinking something else, such as an Islamic state, this country’s history and social conditions do not allow it.... Democratization is an irreversible process in Turkey”.(Yafuz, 2005).
Walhasil, di era modernitas dan globalisasi seperti sekarang sosok seperti Abdurrahman Wahid dan Fethullah Gulen merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa dihindari. Sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam bahasa yang dikenal dan mudah diterima masyararakat kontemporer, sekaligus mampu mengejawantahkannya dalam aktivitas nyata yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Apa yang dikatakan Eickelman bahwa dalam era global setiap agama harus bisa menata ulang hubungannya dengan masyarakat, sebab tradisi keagamaan telah menjadi konsumsi massal, tampaknya sudah dimainkan dengan apik oleh Gus Dur dan Gulen. Bagaimana dengan kita?
http://www.nu.or.id/post/read/69802/fetullah-gulen-gus-dur-nya-turki
Oleh Syaikhul Islam
Sejak mangkatnya Gus Dur beberapa waktu lalu, saya terus dihantui keresahan akan masa depan dan bahkan kerisauan atas jati diri saya sendiri. Saya tidak berpikir untuk meributkan gelar pahlawan untuk beliau, tidak pula terbersit untuk mendebatkan benar tidaknya kewalian beliau. Alih-alih untuk meratapi kepergian beliau, untuk berziarah ke makamnya yang sudah dikunjungi puluhan ribu orang itu pun saya belum tergerak. Semua itu karena saya lebih kehilangan sosok Gus Dur sebagai seorang intelektual dan pemimpin bukan sebagai ratu adil atau satrio piningit apalagi wali. Seperti kata orang bijak: “tidak ada orang sempurna dalam segala hal, tidak ada orang hebat dalam segala bidang” banyak sisi dari Gus Dur yang sampai saat ini belum atau tidak bisa saya terima.
Sosok Gus Dur memang unik. Gabungan antara pemikir yang idealis dan pemimpin yang populis. Seseorang yang mencetuskan gagasan visioner sekaligus menyulap implikasi gagasan tersebut hadir ke alam nyata. Seorang berjiwa pengayom khas korps Kiai tetapi bisa juga lihai dan piawai melebihi politikus sejati. Beberapa orang beranggapan sosok seperti Gus Dur belum tentu ada satu dalam seratus tahun, dan tampaknya diam-diam saya mengamini anggapan ini. Seketika itu minat saya untuk membaca tulisan-tulisan Gus Dur menjadi sangat besar. Dan betapa kecewanya saya karena tulisan-tulisan beliau yang saya jumpai, belum mampu mengobati kehausan saya kepada sosok seperti beliau.
Rasa kecewa membuat saya terus berpikir untuk menemukan sosok lain yang seperti Gus Dur di dunia ini, seraya berharap dapat membaca karya-karyanya dan belajar banyak darinya. Tiba-tiba saya teringat dengan pengalaman tiga tahun lalu. Saat itu akhir Januari 2007 di Cairo International Book Fair saya berkenalan dengan seorang penjual buku bernama Mehmet Tuzun asal Izmir-Turki. Dengan bahasa Inggris terbata-bata ia mempersilahkan saya melihat koleksi buku-buku di outletnya. Dia menyebut banyak sekali nama penulis-penulis Turki, meski hanya sedikit nama yang pernah saya dengar. Dengan bersemangat dia mulai menunjukkan jilid demi jilid Risalet al-Nur karya teosof Turki abad 20, Badiuzzaman Sai’d Nursi dan beberapa buku tentang puisi-puisi mistikus Yunus Emre tapi saya masih bergeming untuk membeli. Saat saya sedang asyik melihat buku-buku Nursi versi terjemah Indonesia, dia membawa dua buku bahasa Inggris satu berjudul The Messenger of God MUHAMMAD satu lagi berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. Dia memberikan dua buku itu kepada saya, tapi ketika saya hendak membuka daftar isi—sebagaimana kebiasaan saya saat membeli buku— dia menghentikan saya dan menunjukkan nama pengarang di sampul depan: M. Fethullah Gulen. Sambil berbisik penjual buku itu bertutur: “he is nobleman, he is waliyallah”. Saya tertegun, terkesima dengan tingkah penjual buku ini. Pikiran saya seketika itu kembali pada kaum Nahdliyin dengan Gus Dur-nya, Dalam benak saya bertanya-tanya: masa di Turki ada sosok intelektual yang dianggap wali seperti Gus Dur? Entah sihir apa yang menggugah saya hingga pada akhirnya membeli dua buku tersebut, meski harga satu buku mencapai 90 pound Mesir (kira-kira 180 ribu rupiah) harga yang cukup mahal untuk ukuran book fair apalagi untuk mahasiswa ber-budget pas-pasan seperti saya.
Hampir tiga tahun dua buku karya Fethullah Gulen tersebut tergolek tak terjamah dalam rak buku saya di Kairo, dan tiga bulan lebih berkalang debu di dalam kardus sejak dikirim ke Indonesia. Sampai pada awal Januari lalu beberapa hari setelah mangkatnya Gus Dur saya memungutnya dan mulai membolak-balik satu persatu halamannya. Sejak awal keinginan saya membaca Gulen karena berharap ingin ‘menemukan’ Gus Dur kembali. Rupanya saya sedang beruntung, karena menurut pembacaan saya tipikal pemikiran dua tokoh besar ini ada banyak kemiripan. Terutama menyangkut isu-isu kontemporer seperti: pluralisme, humanisme, toleransi, demokrasi, dialog antar agama hingga terorisme.
Membandingkan Gus Dur dan Gulen
Fethullah Gulen pemikir Turki kontemporer yang karismatik lahir di Erzurum pada 1941 atau setahun lebih muda dari Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang pada 1940. Ayahnya Ramiz Gulen adalah seorang pemuka agama yang disegani. Gulen tumbuh dalam lingkungan agamis nan taat di bawah pengaruh madzhab fikih Hanafi dan diasuh oleh guru-guru sufi dari tarekat Naqsyabandiah. Seperti Gus Dur yang sejak kelahiran hingga pertumbuhannya tak lepas dari dunia pesantren mulai dari Denanyar, Tebuireng, Tegal Rejo dan Tambak Beras yang semuanya kental dengan tata nilai yang mensinergikan fikih dan keluhuran etika sufi. Gulen sama halnya Gus Dur tidak memiliki gelar akademis formal, akan tetapi memiliki standar tinggi dalam pemahaman Islam, filsafat Barat dan sains modern melalui pendidikan informal maupun otodidak. Namun, berbeda dengan Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo dan Universitas Baghdad, Gulen tidak pernah meninggalkan Turki untuk mengais butir-butir pengetahuan.
Pakar kajian budaya Islam dan masyarakat sipil Asia Tenggara yang juga penulis biografi Gus Dur Greg Barton menegaskan posisi istimewa Gulen dibandingkan dengan pemikir Muslim kontemporer yang lain. Barton melihat keberhasilan Gulen mentransformasi pemikirannya dalam wujud gerakan sosial yang berpengaruh pada seluruh strata masyarakat Turki modern sebagai prestasi khusus. Menurut Barton kebanyakan pemikir Muslim reformis yang sezaman dengan Gulen belum mampu membangun gerakan sosial yang nyata, kendati pemikiran mereka baik dalam bentuk tulisan maupun ceramah dapat mempengaruhi dan merubah ribuan pemikir Muslim yang lain (Barton, 2005). Senada dengan Barton Ali Bulac mendefinisikan sosok Gulen sebagai kombinasi sempurna antara sosok pemimpin penyeimbang (harmonizing leader) dan sarjana intelektual (intellectual-scholar) yang mendedikasikan dirinya untuk reformasi sosial dan perbaikan mental (Bulac, 2005). Gulen memilih dakwah jalan tengah sebagai garis perjuangan hidupnya. Integritasnya menyampaikan ide-ide perubahan dari masjid, kedai kopi, kampus dan ruang publik lainnya mendapat respon positif khalayak. Inspirasi Gulen tentang cinta, perdamaian, toleransi dan reformasi pendidikan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat dari latar belakang yang beragam. Gulen tidak hanya mampu bersikap netral di tengah gesekan antara Islam kanan versus Islam kiri, Sunni dan Alawi bahkan perseteruan etnis Turki dan Kurdi tapi juga berusaha menjaga masyrakat untuk menjauhi konflik-konflik tersebut (Cetin, 2006).
Gerakan sosial pertama kali dirintis Gulen pada 1963 awalnya berupa kelompok kecil di kota Izmir Turki selatan. Pada pertengahan 1980 gerakan ini baru berkembang dengan cepat dengan membangun institusi pendidikan yang tersebar di seluruh Turki. Sejak awal 1990 gerakan Gulen ini berubah menjadi gerakan transnasional dan telah menarik pengikut dari berbagai suku bangsa. Sekolah Hizmet mulai didirikan di negara-negara Asia Tengah, Eropa dan Australia terutama oleh keturunan Turki di negara-negara tersebut (Celik-Alan; T. Kuru, 2005; Yavuz, 2005). Pada era yang sama Gus Dur adalah ikon intelektual Indonesia. Sosok aktivis HAM, pembela demokrasi dan pejuang kebebasan berpendapat. Seorang pemikir yang berani sekaligus piawai bertarik ulur dengan pemerintahan yang otoriter. Maka bukan sesuatu yang mengagetkan jika pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo KH Asa’d Syamsul Arifin selaku pemegang otoritas di NU saat itu (ahlul halli wal aqdi) memilih Gus Dur sebagai nahkoda perubahan NU setelah memutuskan kembali ke khittah 1926. Kepemimpinan Gus Dur di PBNU ditandai dengan keterbukaan dan ruang bebas bagi kader NU muda untuk mengekspresikan pendapat mereka. Dengan semangat tersebut Gus Dur bersama dengan NU muda-nya mencoba merumuskan jati diri NU, hingga muncullah slogan-slogan yang tak akan dilupakan generasi NU sampai kapanpun yaitu: persaudaraan sesama Nahdliyin (ukhuwah nahdliyah), persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Pada awal 90-an ide perubahan yang dibangun Gus Dur mulai menampakkan hasil. Gagasan beliau untuk mendorong para sarjana dan peneliti asing untuk menulis tentang NU secara perlahan membawa NU berubah dari organisasi kolot menjadi organisasi yang dikenal di Dunia Internasional (Ghazali, 2003; Assyaukanie, 2010).
Gulen dan Gus Dur sama-sama memandang pentingnya toleransi dan humanisme sebagai landasan utama kehidupan berbangsa, terutama dalam konteks Indonesia dan Turki yang plural dan majemuk. Menjadi penting untuk menengok kembali, mengapa Gus Dur dan koleganya KH Ahmad Siddiq sejak awal kepemimpinannya bersikeras mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dengn menolak penerapan syariat Islam? Mengapa Gus Dur merespon dengan antusias setiap undangan seremonial agama lain? Mengapa Gus Dur membela dan menganak emaskan kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa dan keluarga tahanan politik? Setali tiga uang dengan Gus Dur, Gulen memastikan toleransi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih masa depan sebuah bangsa. Toleransi bagi Gulen ibarat sebuah benteng yang sangat kuat untuk menjaga keutuhan sebuah bangsa dari ancaman perbedaan yang berpotensi mendatangkan perpecahan. Gulen menulis:“Thus, while walking toward the future as a whole nation, tolerance is our safest refuge and our fortress against the handicaps that arise from schism, factions, and the difficulties inherent in reaching mutual agreement; troubles that lie waiting at every corner”(Gulen, 2004).
Gulen juga memberi catatan penting bahwa toleransi dan penghargaan kepada orang lain adalah hal yang sama sekali berbeda dengan masalah hubungan seseorang dengan Tuhannya. Menghargai nilai manusia bagi seorang yang percaya kepada Tuhan merupakan sebuah takdir yang tidak akan mampu diingkari. Gulen berujar: “Accepting all people as they are, regardless of who they are, does not mean putting believers and unbelievers on the same side of the scales. According to our way of thinking, the position of believers and unbelievers has its own specific value. The Pride of Humanity has a special position and his place in our hearts is separate from and above all others” (Gulen, 2004). Sebuah catatan yang mungkin dapat memberi sedikit pencerahan mengenai sikap Gus dur yang lebih memilih diam merespon hujatan, cacian dan tuduhan murtad kepada beliau saat menghadiri undangan dari para pemuka agama lain, berdoa di gereja, klenteng dan lain-lain.
Dalam ranah politik, perjuangan Gus Dur dan Gulen juga memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama berangkat dari tradisi politik kultural. Gus Dur selalu mendambakan gerbong besar Nahdliyin nya menjadi elemen civil society. Dalam pandangan Gus Dur NU ormas keagamaan yang lain merupakan unsur paling penting dari kekuatan sipil yang bepotensi menjadi mandiri dan mampu berhadapan dengan negara (Sa’id Ali, 2008). Cita-cita politik Gus dur ini terlihat sangat kuat pada awal 90-an ketika NU memilih mendukung demokrasi dan berhadapan langsung dengan pemerintahan otoriter orde baru.
Sayangnya cita-tersebut sedikit luntur dengan didirikannya PKB sebagai ‘partai resmi’ warga NU pasca reformasi, bahkan menjadi kabur tatkala Gus Dur diangkat sebagai Presiden RI ke-4 (Sa’id Ali, 2008).
Meneruskan tradisi pendahulunya Sa’id Nursi Gulen agaknya lebih konsisten dalam membangun masyarakat menjadi lebih modern dan menjauhi politik praktis. Bagi Gulen membangun pemahaman agama yang inklusif dan humanis di tengah masyarakat jauh lebih penting dan efektif dibandingkan membiarkan masyarakat jatuh dalam kubangan politisasi agama (Yavuz, 2005). Konsentrasi Gulen seperti diidentifikasi Barton lebih besar dicurahkan pada perbaikan kualitas pendidikan, etika perbankan dan perusahaan media. Selain itu Gulen tetap tekun memobilisasi integritas personal dan kepedulian sosial dari para pelaku bisnis serta pada saat yang sama menyediakan jaringan untuk memacu dan mendukung kegiatan mereka (Barton, 2005). Seperti dinyatakan Yafuz, Gulen tidak memiliki agenda politik tertentu terutama berkaitan dengan gerakan sosial yang dipimpinnya, tetapi kharisma Gulen merupakan daya tarik politik yang tidak bisa diabaikan dalam kancah pepolitikan Turki. Gulen tidak pernah dengan tegas menyatakan sikap politiknya, namun bukan lagi rahasia jika ia tidak bersimpati dengan politisasi Islam ala Milli Gorus yang digawangi Necmetin Erbakan berikut partai-partai politik berada dibawahnya. Gulen justru terlihat lebih intim dengan pemimpin-pemimpin sekuler seperti mantan presiden dan perdana menteri Turgut Ozal dan perdana menteri wanita pertama Turki Tansu Ciller (Yafuz, 2005).
Seperti Gus dur yang mendukung penuh pemerintah menjaga Pancasila sebagai dasar negara, Gulen seringkali menjadi bumper pemerintah dan kekuatan militer Turki terutama ketika berhadapan dengan kelompok Islam Kanan. Namun penting untuk dicatat, kedua tokoh ini memberikan dukungan tersebut tidak gratis, Gus Dur dan Gulen sama-sama meminta demokrasi sebagai harga yang tidak bisa ditawar.(Sa’id Ali, 2008; Yafuz, 2005) Gulen selalu lantang menyuarakan demokratisasi baik kepada pemerintah maupun pada partai-partai Islam sebagaimana pernyataannya berikut: “Democracy and Islam are compatible. Ninety-Wve percent of Islamic rules deal with private life and the family. Only 5 percent deal with matters of the state and this could be arranged only within the context of democracy. If some people are thinking something else, such as an Islamic state, this country’s history and social conditions do not allow it.... Democratization is an irreversible process in Turkey”.(Yafuz, 2005).
Walhasil, di era modernitas dan globalisasi seperti sekarang sosok seperti Abdurrahman Wahid dan Fethullah Gulen merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa dihindari. Sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam dalam bahasa yang dikenal dan mudah diterima masyararakat kontemporer, sekaligus mampu mengejawantahkannya dalam aktivitas nyata yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Apa yang dikatakan Eickelman bahwa dalam era global setiap agama harus bisa menata ulang hubungannya dengan masyarakat, sebab tradisi keagamaan telah menjadi konsumsi massal, tampaknya sudah dimainkan dengan apik oleh Gus Dur dan Gulen. Bagaimana dengan kita?
http://www.nu.or.id/post/read/69802/fetullah-gulen-gus-dur-nya-turki
K.H. Ahmad Dahlan TOKOH PENDIRI MUHAMMADYAH ( Oleh : Teddy Calterio )
K.H. Ahmad Dahlan
TOKOH PENDIRI MUHAMMADYAH
Oleh : Teddy Calterio
K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta,
tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran- pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.
•
K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu dari
belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca buku atau kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak iparnya, ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, ilmu falaq dari K.H. Raden Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, ilmu hadits dari Kyai
Mahfudz, qiroatul qur’an dari Syekh Amin. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi dengan
para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya. KH Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang
dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max
Weber. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai insiden sosiologis sunnatullah atau hukum alam.
•
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini
diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut Ahmad Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.
•
Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan cabang- cabang Muhammadiyah diseluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
•
Atas jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa lewat pembaharuan Islam dan
pendidikan, Pemerintah menetapkan sebagai Pahlawan Nasional dgn SK Presiden no. 657 tahun 1961 berdasar bahwa KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar. Dengan organisasi Muhammadiyah, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan dan beramal bagi umat dan masyarakat dengan dasar iman dan Islam; Usahanya `memberi warna,pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang
tamu rumahnya sendiri di Kauman. Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri.
TOKOH PENDIRI MUHAMMADYAH
Oleh : Teddy Calterio
K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868. Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara yang keseluruhanya
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta,
tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran- pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau
bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan,
Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH.
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9). Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.
•
K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah mengalami pendidikan formal. Ia menguasai beragam ilmu dari
belajar secara otodidak baik belajar kepada ulama atau seorang ahli atau membaca buku atau kitab. Beliau belajar ilmu fikih dari Kyai Mohammad Soleh yang juga kakak iparnya, ilmu nahwu dari K.H. Muhcsin, ilmu falaq dari K.H. Raden Dahlan dari Pondok Pesantren Termas, ilmu hadits dari Kyai
Mahfudz, qiroatul qur’an dari Syekh Amin. K.H. Ahmad Dahlan juga pernah berinteraksi dengan
para ulama terutama saat beliau berada di Mekah, misalnya dengan Syekh Muhammad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya. KH Ahmad Dahlan terlibat aktif dalam sistem kekuasaan Kerajaan Jawa sebagai pejabat keagamaan, bukan pedagang
dan prestasi duniawi bukan tujuan final, melainkan mediasi prestasi sesudah mati. Reformasi sosial budaya gerakan ini terus berlangsung hampir tanpa contoh dalam sejarah dan pemikiran pembaru Islam di berbagai belahan dunia. Ahmad Dahlan bisa dipastikan tidak pernah membaca karya Max
Weber. Jika terdapat kesesuaian gagasan dan kerja sosial keagamaan Dahlan dengan tesis Weber dan tradisi Calvinis, mungkin lebih sebagai insiden sosiologis sunnatullah atau hukum alam.
•
Gagasan dasar Dahlan terletak pada kesejajaran kebenaran tafsir Al Quran, akal suci, temuan iptek, dan pengalaman universal kemanusiaan. Belajar filsafat baginya adalah kunci pengembangan kemampuan akal suci, selain belajar pada pengalaman beragam bangsa dan pemeluk agama. Dari sini
diperoleh pengetahuan tentang bagaimana mencapai tujuan penerapan ajaran Islam, yaitu penyelamatan kehidupan umat manusia di dunia berdasarkan cinta kasih. Sebagai pembaru, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dahwahnya, atau orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Karena menurut Ahmad Dahlan dialog merupakan alat atau sarana untuk mencapai kebenaran.
•
Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena
itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mendirikan cabang- cabang Muhammadiyah diseluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
•
Atas jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa lewat pembaharuan Islam dan
pendidikan, Pemerintah menetapkan sebagai Pahlawan Nasional dgn SK Presiden no. 657 tahun 1961 berdasar bahwa KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar. Dengan organisasi Muhammadiyah, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan dan beramal bagi umat dan masyarakat dengan dasar iman dan Islam; Usahanya `memberi warna,pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang
tamu rumahnya sendiri di Kauman. Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri.
Langganan:
Postingan (Atom)